PERINGATAN

Dilarang meng-copy materi dari blog ini, tanpa mencantumkan nama penulis dan alamat web (URL). Terima Kasih

Kamis, 06 Maret 2014

FAKTOR RESIKO PENYAKIT ISPA

Dr. Suparyanto, M.Kes
 

FAKTOR RESIKO PENYAKIT ISPA
1.    Faktor Resiko ISPA
Menurut Nastiti, (2008). Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA pada anak. Hal ini berhubungan dengan host, agent penyakit dan environment. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kejadian ISPA antara lain :
1.                   Ventilasi Rumah
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis (Keman, 2004). Ventilasi disamping berfungsi sebagai lubang pertukaran udara juga dapat berfungsi sebagai lubang masuknya cahaya alami atau matahari ke dalam ruangan. Kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan dan kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan resiko kejadian ISPA. Adanya pemasangan ventilasi rumah merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA (Nindya dan Sulistyorini, 2005). Ventilasi merupakan determinan dari kejadian ISPA pada anak balita. Adapun besarnya risiko untuk terjadinya ISPA pada anak balita yang menempati rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebesar 2,789 kali lebih besar dari pada anak balita yang menempati rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat (Chandra, 2007).
2.         Kepadatan Hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya. Artinya, luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload . Hal ini tidak sehat karena disamping  menyebabkan kurangnya oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif bergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun (Yusuf, 2008).
3.            Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela minimum 20% luas lantai. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri patogen di dalam rumah misanya, basil TB. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux. Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman  dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan kaca berwarna (Suryo, 2010).
4.            Kebiasaan merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dalam meningkatkan resiko untuk terkena penyakit kanker paru-paru, jantung koroner dan bronkitis kronis. Dalam satu batang rokok yang dihisap akan dikeluarkan sekitar  4.000 bahan kimia berbahaya, di antaranya yang paling berbahaya adalah Nikotin, Tar, dan Carbon Monoksida (CO). Asap rokok merupakan zat iritan yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang-orang di sekitarnya yang tidak merokok yang sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibu-ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif oleh karena ayah atau suami mereka merokok di rumah. Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat meningkatkan resiko terjadinya ISPA sebanyak 2,2 kali (Suryo, 2010).
5.            Berat badan lahir rendah (BBLR)
Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA. Di negara berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada pneumonia di perkirakan terjadi pada BBLR. Meta-analisis menunjukkan bahwa BBLR mempunyai RR kematian 6,4 pada bayi yang berusia di bawah 6 bulan, dan 2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan.
6.             Imunisasi
BCampak, pertusis dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan resiko terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat di cegah. Di india, anak yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA enam kali lebih sering dari pada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA. Vaksin campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian hingga 25% usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini.
            Vaksin pneomokokus dan H. Influenzae  type B saat ini sudah di berikan pada anak anak dengan efektivitas yang cukup baik.
7.            Status gizi
Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya pneumonia. Gizi buruk merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini di karenakan adanya gangguan respon imun. Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi. Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, selain perbaikan gizi dan perbaikan ASI, harus di lakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk mencegah ISPA.

DAFTAR PUSTAKA
1.    Almasri (2011). Mycoplasma Pneumoniae Respiratory Tract Infections Among Greek Children. Hippokratia : 147–152.
2.    Arikunto, Suharsimin  (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

3.    Aziz, Hidayat (2010). Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Surabaya : Health Books Publishing.

4.    Calvo C. (2007).  Role of rhinovirus in hospitalized infants with respiratory tract infections in Spain. Pediatric Infection Dis J; 26: 904-8.

5.    Cartamil S. (2008). Estudio de dos nuevos virus respiratorios en poblacion pediatrica con infeccion respiratoria aguda: el metapneumovirus (hMPV)y el bocavirus (hBoV). Revista Argentina Microbiologia; 40 Supl: 78.

6.    Chandra Budiman, (2007). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

7.    Chandra Budiman, (2009). Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

8.    Corwin, Elizabeth (2008). Buku Saku Patofisiologi, ed. 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

9.    Debora N. (2012). Rhinovirus detection by real-time RT-PCR in children with acute respiratory infection in Buenos Aires, Argentina. Revista Argentina de Microbiologia; 44: 259-265

10. Depkes RI. (2000). Informasi tentang ISPA pada Balita. Jakarta: Pusat Kesehatan Masyarakat Depkes RI.

11. Depkes RI. (2004). Pedoman Program Pemberantasan Peneumonia Pada Balita. Jakarta : Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Pemukiman.

12. Depkes RI. (2012). Buletin Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Jakarta : Depkes RI.

13. Dinkes Kab. Jombang. (2010). Kondisi Geografis Kecamatan Mancar Tahun 2010. Jombang : Bidang Yankesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

14. Djaja S, dan Afifah T. (2001). Determinan Prilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita. Buletin Penelitian Kesehatan. 29:1-10.

15. Erlien (2008). Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta : Sunda Kelapa Pustaka.

16. Kartasasmita CB. (2010). Morbiditas dan Faktor Risiko ISPA pada Balita di Indonesia. Majalah Kedokteran Jakarta. 25:135-142.

17. Keman S. (2004). Pengaruh Lingkungan Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 1: 30-43.

18. Narbuko, Cholid (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Bumi Aksara

19. Nastiti Rahajoe, dkk. (2008). Buku Ajar Respirologi. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

20. Nindya TS dan Sulistyorini L. (2005). Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2:43-52.

21. Notoadmodjo, Soekidjo (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

22. Notoadmodjo, Soekidjo (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

23. Nursalam (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

24. Nursalam (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrument Penelitian Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.

25. Nursalam dan Siti pariani (2008). Pendekatan Riset Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

26. Ranuh IGN. (1997). Masalah ISPA dan Kelangsungan Hidup Anak. Surabaya: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak.

27. Saryono (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mitra Cendikia.

28. Savolainen C. (2003). Human rhinoviruses.  Pediatric Respiratory. Rev 2003; 4: 91-8.

29. Setiadi (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

30. Sugiono (2000). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabet.

31. Sugiyono (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung :  Alfabeta.

32. Suryo, Joko (2010). Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernafasan. Yogyakarta :  PT Bentang Pustaka.

33. Sylvia, Price A. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis proses – proses Penyakit ; Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

34.  Tambayong Jan (1999). Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit buku Kedokteran EGC.

35. Wasis (2008). Pedoman Riset Praktis untuk Profesi Perawat. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

36. Yusuf NA dan Sulistyorini L. (2008). Hubungan sanitasi rumah secara fisik dengan kejadian ISPA pada anak Balita.  Jurnal Kesehatan Lingkungan.1:110-119.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar