PERINGATAN

Dilarang meng-copy materi dari blog ini, tanpa mencantumkan nama penulis dan alamat web (URL). Terima Kasih

Senin, 10 Maret 2014

MASALAH AIR BERSIH

Dr. Suparyanto, M.Kes

MASALAH AIR BERSIH



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang

Air merupakan unsur yang vital dalam kehidupan manusia. Seseorang tidak dapat bertahan hidup tanpa air, karena itulah air merupakan salah satu penopang hidup bagi manusia. Ketersediaan air di dunia ini begitu melimpah ruah, namun yang dapat dikonsumsi oleh manusia untuk keperluan air minum sangatlah sedikit. Dari total jumlah air yang ada, hanya lima persen saja yang tersedia sebagai air minum, sedangkan sisanya adalah air laut. Selain itu, kecenderungan yang terjadi sekarang ini adalah berkurangnya ketersediaan air bersih itu dari hari ke hari. Semakin meningkatnya populasi, semakin besar pula kebutuhan akan air minum. Sehingga ketersediaan air bersih pun semakin berkurang.
Air bersih adalah salah satu jenis sumberdaya berbasis air yang bermutu baik dan biasa dimanfaatkan oleh manusia untuk dikonsumsi atau dalam melakukan aktivitas mereka sehari-hari termasuk diantaranya adalah sanitasi.
Untuk konsumsi air minum menurut departemen kesehatan, syarat-syarat air minum adalah tidak berasa, tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak mengandung logam berat. Walaupun air dari sumber alam dapat diminum oleh manusia, terdapat risiko bahwa air ini telah tercemar oleh bakteri (misalnya Escherichia coli) atau zat-zat berbahaya. Walaupun bakteri dapat dibunuh dengan memasak air hingga 100 °C, banyak zat berbahaya, terutama logam, tidak dapat dihilangkan dengan cara ini.
2.      Tujuan
1.      Mengetahui pengertian air bersih dan syarat-syaratnya.
2.      Mengetahui sumber air bersih.
3.      Mengetahui masalah air bersih.
4.      Penyalah gunaan dan pencemaran air.
5.      Mengetahui tentang menanggulangi masalah ketersediaan air bersih.
6.      Mengetahui sebab dan dampak akibat  ketiadaan air bersih.



BAB II
PEMBAHASAN

  1. Pengertian Air dan Syarat-syarat Air Bersih
Dalam UU RI No.7 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002, disebutkan beberapa pengertian terkait dengan air, yaitu sebagai berikut :
Sumber daya air adalah air, dan daya air yang terkandung didalamnya. Air adalah semua air yang terdapat pada diatas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan. Air Bersih (clean water) adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hariyang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Air Minum (drinking water) adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, diatas, ataupun di bawah permukaan tanah. Dalam referensi lain disebutkan bahwa air adalah adalah zat kimia yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang diketahui sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di planet lain. Air menutupi hampir 71% permukaan bumi.
Saat ini kualitas air minum di kota-kota besar di Indonesia masih memprihatinkan. Kepadatan penduduk, tata ruang yang salah dan tingginya eksploitasi sumber daya air sangat berpengaruh pada kualitas air. Pemerintah telah mengeluarkan Kepmenkes No 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Syarat air minum sesuai Permenkes yaitu harus bebas dari bahan-bahan anorganik dan organik. Dengan kata lain kualitas air minum harus bebas bakteri, zat kimia, racun, limbah berbahaya dan lain sebagainya.
Parameter kualitas air minum yang berhubungan langsung dengan kesehatan sesuai Permenkes tersebut adalah berhubungan dengan mikrobiologi, seperti bakteri E.Coli dan total koliform. Yang berhubungan dengan kimia organik berupa arsenik, flourida, kromium, kadmium, nitrit, sianida dan selenium. Sedangkan parameter yang tidak langsung berhubungan dengan kesehatan, antara lain berupa bau, warna, jumlah zat padat terlarut (TDS), kekeruhan, rasa, dan suhu. Untuk parameter kimiawi berupa aluminium, besi, khlorida, mangan, pH, seng, sulfat, tembaga, sisa khlor dan ammonia.

4.      Sumber Air Bersih

  • Sungai
Rata-rata lebih dari 40.000 kilometer kubik air segar diperoleh dari sungai-sungai di dunia. Ketersediaan ini (sepadan dengan lebih dari 7.000 meter kubik untuk setiap orang) sepintas terlihat cukup untuk menjamin persediaan yang cukup bagi setiap penduduk, tetapi kenyataannya air tersebut seringkali tersedia di tempat-tempat yang tidak tepat. Sebagai contoh air bersih di lembah sungai Amazon walupun ketersediaannya cukup, lokasinya membuat sumber air ini tidak ekonomis untuk mengekspor air ke tempat-tempat yang memerlukan.
  • Curah hujan
Dalam pemanfaatan hujan sebagai sumber dari air bersih, individu perorangan/ berkelompok/ pemerintah biasanya membangun bendungan dan tandon air yang mahal untuk menyimpan air bersih di saat bulan-bulan musim kering dan untuk menekan kerusakan musibah banjir.
  • Air permukaan dan air bawah tanah.
Air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
Air tanah adalah air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.

5.      Masalah Air Bersih

Pengadaan air bersih di Indonesia khususnya untuk skala yang besar masih terpusat di daerah perkotaan, dan dikelola oleh Perusahan Air Minum (PAM) kota yang bersangkutan. Namun demikian secara nasional jumlahnya masih belum mencukupi dan dapat dikatakan relatif kecil yakni 16,08 % ( Supas 1995). Untuk daerah yang belum mendapatkan pelayanan air bersih dari PAM umumnya mereka menggunakan air tanah (sumur), air sungai, air hujan, air sumber (mata air) dan lainnya. Dari hasil survey penduduk antar sensus (SUPAS) 1995, prosentasi banyaknya rumah tangga dan sumber air minum yang digunakan di berbagai daerah di Indonesia sangat bervariasi tergantung dari kondisi geografisnya. Secara nasional yakni sebagai berikut :
Description: C:\Users\ZAHRA\Documents\Bahan AIr bersih KOM3\airber_files\lap01.gif
Permasalahan yang timbul yakni sering dijumpai bahwa kulaitas air tanah maupun air sungai yang digunakan masyarakat kurang memenuhi syarat sebagai air minum yang sehat bahkan di beberapa tempat bahkan tidak layak untuk diminum. Air yang layak diminum, mempunyai standar persyaratan tertentu yakni persyaratan fisis, kimiawi dan bakteriologis, dan syarat tersebut merupakan satu kesatuan. Jadi jika ada satu saja parameter yang tidak memenuhi syarat maka air tesebut tidak layak untuk diminum. Pemakaian air minum yang tidak memenuhi standar kualitas tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan, baik secara langsung dan cepat maupun tidak langsung dan secara perlahan.
Masalah air bersih yang memenuhi syarat kesehatan tidak hanya dialami oleh masyarakat umum, tetapai juga sering dialami oleh masyarakat industri khususnya industri kecil dan menengah yang bergerak di dalam industri proses khususnya proses pengolahan makanan dan minuman serta proses yang berhubungan dengan senyawa kimia. Masalah air bersih yang kurang memenuhi syarat tersebut sangat berpengarauh terhadap kualitas produk. Sebagai contoh di dalam industri makanan dan minuman jika air yang digunakan kurang baik maka produk yang dihasilkan juga kurang baik, apalagi jika air yang digunakan tidak steril maka produk yang dihasilkan dapat terkontaminasi oleh mikroorganisme patogen yang mana dapat membayakan konsumen.
Data dari kementerian kesehatan menyatakan bahwa 60% sungai di Indonesia tercemar, mulai dari bahan organic sampai bakteri-bakteri penyebab diare seperti coliform dan Fecal coli. Padahal, air sungai seharusnya bisa menjadi sumber kehidupan warga sekitar. Namun, justru malah tercemar dan berubah warnanya menjadi hitam pekat, sehingga tidak layak untuk dijadikan air minum, mandi, serta mencuci. Kondisi ini tentunya menyebabkan pencemaran lingkungan dan berimbas pada buruknya kesehatan pada warga.
Belum selesai masalah akses terhadap air bersih, masalah buruknya sanitasi juga semakin besar. Sebab, kedua hal tersebut juga berkaitan. Sebuah penelitian bahkan menunjukkan bahwa masih sekitar 70 juta masyarakat Indonesia buang air besar sembarangan setiap harinya. Itu berarti, setiap hari ada 14.000 ton tinja dan 176.000 meter kubik air seni yang mencemari lingkungan. Bakteri E.Coli juga dijumpai pada 75% air sumur dangkal di perkotaan Hal itu tentu menyebabkan akses air bersih semakin sulit. Ini dibuktikan dengan sebuah data yang menunjukkan dari 1000 orang penduduk Indonesia, 411 diantaranya terkena penyakit diare, yang itu artinya hampir 50% penduduk Indonesia.
Menurut penelitian sebuah lembaga yang bernama MDGs (Millenium Development Goals) Asia Pasifik, Bahwa untuk sektor sanitasi di Indonesia cakupan akses nasionalnya, rata-rata memang telah mencapai 80%, dan itu artinya telah melampaui target dari MDGs yang hanya 74%. Namun, hal itu baru sebatas kuantitas. Bukan kualitas. Dengan bukti di atas yang menunjukkan bahwa banyaknya bayi yang meninggal akibat diare, hal itu telah cukup membuktikan bahwa secara kualitas, sanitasi di Indonesia masih sangat-sangat buruk.
Sedangkan bila ditinjau dari kuantitas dan kualitas, data terbaru yang dilansir MDGs, baru 51,02% keluarga di Indonesia yang memiliki akses sanitasi yang memadai. Targetnya, pada tahun 2015 akses sanitasi dapat naik hingga di angka 60% hingga 70%.
Melihat data-data di atas tentu kita sangat prihatin terhadap kondisi masyarakat Indonesia sekarang ini ditinjau dari faktor ketersediaan akses terhadap air bersih serta sanitasi. Hal itu tentunya memunculkan tanda tanya besar. Apa penyebab buruknya kualitas air dan sanitasi di Indonesia ?
Masalah yang pertama adalah rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap lingkungan tempat tinggalnya. Dari data di atas saja sudah dapat dibuktikan, dengan masih banyaknya penduduk Indonesia yang buang air besar sembarangan tentu menyebabkan buruknya kualitas air di Indonesia terutama pada sumber-sumber air yang seharusnya menjadi sumber penghidupan warga. Dengan tingkat populasi yang tinggi, namun kesadaran akan lingkungan yang rendah semakin memperparah kondisi tersebut. Masyarakat Indonesia masih sering membuang limbah rumah tangga, sampah, dst. Padahal sungai-sungai itulah yang menjadi sumber penghidupan mereka. Belum juga eksploitasi air tanah untuk kepentingan fasilitas hotel, apartemen, dan perkantoran yang menyebabkan semakin berkurangnya debit air bersih.
Masalah yang kedua, adalah rendahnya alokasi APBD tiap daerah yang digunakan untuk memperbaiki layanan air bersih dan sanitasi. Berdasarkan data dari Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementrian Dalam Negeri, pada tahun 2010 yang lalu, rata-rata alokasi belanja sanitasi seluruh kota dan kabupaten di Indonesia masih di angka 1,5% dari total belanja APBD. Dibandingkan pada saat tahun 2006 yang alokasi rata-ratanya hanya 0.5%, hal itu tentu mengalami kenaikan yang signifikan. Namun, berkaca dari kondisi Indonesia saat ini, hal itu tentu jauh dari kata layak, karena kondisi sanitasi dan air bersih di Indonesia telah mencapai taraf yang sangat memprihatinkan.

6.      Penyalah Gunaan Dan Pencemaran Air

Sumber-sumber air bersih ini biasanya terganggu akibat penggunaan dan penyalahgunaan sumber air seperti:
1.                   Pertanian. Penghamburan air akibat ketiadaannya penyaluran air yang baik pada lahan yang diairi dengan irigasi (untuk penghematan dalam jangka pendek) dapat berakibat terjadinya kubangan dan penggaraman yang akhirnya dapat menyebabkan hilangnya produktivitas air dan tanah.
2.                   Industri. Walaupun industri menggunakan air jauh lebih sedikit dibandingkan dengan irigasi pertanian, namun penggunaan air oleh bidang industri mungkin membawa dampaknya yang lebih parah dipandang dari dua segi. Pertama, penggunaan air bagi industri sering tidak diatur dalam kebijakan sumber daya air nasional, maka cenderung berlebihan. Kedua, pembuangan limbah industri yang tidak diolah dapat menyebabkan pencemaran bagi air permukaan atau air bawah tanah, seihingga menjadi terlalu berbahaya untuk dikonsumsi. Air buangan industri sering dibuang langsung ke sungai dan saluran-saluran, mencemarinya, dan pada akhirnya juga mencemari lingkungan laut, atau kadang-kadang buangan tersebut dibiarkan saja meresap ke dalam sumber air tanah tanpa melalui proses pengolahan apapun. Kerusakan yang diakibatkan oleh buangan ini sudah melewati proporsi volumenya. Banyak bahan kimia modern begitu kuat sehingga sedikit kontaminasi saja sudah cukup membuat air dalam volume yang sangat besar tidak dapat digunakan untuk minum tanpa proses pengolahan khusus.
3.                   Eksploitasi sumber-sumber air secara masal oleh rumah tangga.
* Di negara berkembang: Di beberapa tempat di negara bagian Tamil Nadu di India bagian selatan yang tidak memiliki hukum yang mengatur pemasangan penyedotan sumur pipa atau yang membatasi penyedotan air tanah, permukaan air tanah anjlok 24 hingga 30 meter selama tahun 1970-an sebagai akibat dari tak terkendalikannya pemompaan atau pengairan. Pada sebuah konferensi air di tahun 2006 wakil dari suatu negara yang kering melaporkan bahwa 240.000 sumur pribadi yang dibor tanpa mengindahkan kapasitas jaringan sumber air mengakibatkan kekeringan dan peningkatan kadar garam.
* Di negara maju seperti Amerika Serikat seperlima dari seluruh tanah irigasi di AS tergantung hanya pada jaringan sumber air (Aquifer) Agallala yang hampir tak pernah menerima pasok secara alami. Selama 4 dasawarsa terakhir terhitung dari tahun 2006, sistem jaringan yang tergantung pada sumber ini meluas dari 2 juta hektar menjadi 8 juta, dan kira-kira 500 kilometer kubik air telah tersedot. Jaringan sumber ini sekarang sudah setengah kering kerontang di bawah sejumlah negara bagian. Sumber-sumber air juga mengalami kemerosotan mutu, di samping pencemaran dari limbah industri dan limbah perkotaan yang tidak diolah, seperti pengotoran berat dari sisa-sisa dari lahan pertanian. Misalnya, di bagian barat AS, sungai Colorado bagian bawah sekarang ini demikian tinggi kadar garamnya sebagai akibat dari dampak arus balik irigasi sehingga di Meksiko sudah tidak bermanfaat lagi, dan sekarang AS terpaksa membangun suatu proyek besar untuk memurnikan air garam di Yuma, Arizona, guna meningkatkan mutu sungainya. Situasi di wilayah perkotaan jauh lebih jelek daripada di daerah sumber dimana rumah tangga yang terlayani terpaksa merawat WC dengan cara seadanya karena langkanya air, dan tanki septik membludak karena layanan pengurasan tidak dapat diandalkan, atau hanya dengan menggunakan cara-cara lain yang sama-sama tidak tuntas dan tidak sehat. Hal ini tidak saja mengakibatkan masalah bagi penggunanya sendiri, tetap juga sering berbahaya terhadap orang lain dan merupakan ancaman bagi lingkungan karena limbah mereka lepas tanpa proses pengolahan.

7.      Kontroversi Air Bersih

Walaupun air meliputi 70% permukaan bumi dengan jumlah kira-kira 1,4 ribu juta kilometer kubik, namun hanya sebagian kecil saja dari jumlah ini yang dapat benar-benar dimanfaatkan, yaitu kira-kira hanya 0,003%. Sebagian besar air, kira-kira 97%, ada dalam samudera atau laut, dan kadar garamnya terlalu tinggi untuk kebanyakan keperluan. Dari 3% sisanya yang ada, hampir semuanya, kira-kira 87 persennya,tersimpan dalam lapisan kutub atau sangat dalam di bawah tanah.
Keributan masalah air bersih bisa terjadi dalam suatu negara, kawasan, ataupun berdampak ke benua luas karena penggunaan air secara bersama-sama. Di Afrika, misalnya, lebih dari 57 sungai besar atau lembah danau digunakan bersama oleh dua negara atau lebih; Sungai Nil oleh sembilan, dan Sungai Niger oleh 10 negara. Sedangkan di seluruh dunia, lebih dari 200 sungai, yang meliputi lebih dari separo permukaan bumi, digunakan bersama oleh dua negara atau lebih. Selain itu, banyak lapisan sumber air bawah tanah membentang melintasi batas-batas negara, dan penyedotan oleh suatu negara dapat menyebabkan ketegangan politik dengan negara tetangganya.
Di seluruh dunia, kira-kira 20 negara, hampir semuanya di kawasan negara berkembang, memiliki sumber air yang dapat diperbarui hanya di bawah 1.000 meter kubik untuk setiap orang, suatu tingkat yang biasanya dianggap kendala yang sangat mengkhawatirkan bagi pembangunan, dan 18 negara lainnya memiliki di bawah 2.000 meter kubik untuk tiap orang.
Penduduk dunia yang pada 2006 berjumlah 5,3 miliar diperkirakan akan meningkat menjadi 8,5 miliar pada tahun 2025 akan didera oleh ketersediaan air bersih. Laju angka kelahiran yang tertinggi justru terjadi tepat di daerah yang sumber-sumber airnya mengalami tekanan paling berat, yaitu di negara-negara berkembang.

8.      Penyebab dan Akibat Ketiadaan Air Bersih

a. Sebab-sebab Terjadinya Krisis Air Bersih
·                     Perilaku Manusia
Kodoatie dalam bukunya yang berjudul Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu mengungkapkan bahwa faktor utama krisis air adalah perilaku manusia guna mencukupi kebutuhan hidup yaitu perubahan tata guna lahan untuk keperluan mencari nafkah dan tempat tinggal. Sebagian besar masyarakat Indonesia, menyediakan air minum secara mandiri, tetapi tidak tersedia cukup informasi tepat guna hal hal yang terkait dengan persoalan air, terutama tentang konservasi dan pentingnya menggunakan air secara bijak. Masyarakat masih menganggap air sebagai benda sosial.
Masyarakat pada umumnya tidak memahami prinsip perlindungan sumber air minum tingkat rumah tangga, maupun untuk skala lingkungan. Sedangkan sumber air baku (sungai), difungsikan berbagai macam kegiatan sehari hari, termasuk digunakan untuk mandi, cuci dan pembuangan kotoran/sampah. Sebagian masyarakat masih menganggap bahwa air hanya urusan pemerintah atau PDAM saja, sehingga tidak tergerak untuk mengatasi masalah air minum secara bersama.
Populasi yang terus bertambah dan sebaran penduduk yang tidak merata.
Pemanfaatan sumberdaya air bagi kebutuhan umat manusia semakin hari semakin meningkat. Hal ini seirama dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di dunia, yang memberikan konsekuensi logis terhadap upaya-upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Disatu sisi kebutuhan akan sumberdaya air semakin meningkat pesat dan disisi lain kerusakan dan pencemaran sumberdaya air semakin meningkat pula sebagai implikasi industrialisasi dan pertumbuhan populasi yang tidak disertai dengan penyebaran yang merata sehingga menyebabkan masih tingginya jumlah orang yang belum terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.
Selain itu meningkatnya jumlah populasi juga berdampak pada sanitasi yang buruk yang akan berpengaruh besar pada kualitas air. Sekitar 60 rumah di Jakarta memiliki sumur yang berjarak kurang dari 10 meter dari septic tank. Jumlah septic tank di Jakarta lebih dari satu juta. Melimpahnya jumlah septic tank yang terus bertambah tanpa ada regulasi yang baik mengakibatkan pencemaran air tanah dan membahayakan jutaan penduduk.
  • Kerusakan Lingkungan
- Penggundulan Hutan
Kerusakan lingkungan yang makin parah akibat penggundulan hutan merupakan penyebab utama kekeringan dan kelangkaan air bersih. Kawasan hutan yang selama ini menjadi daerah tangkapan air (catchment area) telah rusak karena penebangan liar. Laju kerusakan di semua wilayah sumber air semakin cepat, baik karena penggundulan di hulu maupun pencemaran di sepanjang DAS. Kondisi itu akan mengancam fungsi dan potensi wilayah sumber air sebagai penyedia air bersih.
Berdasarkan data di Departemen Kehutanan hingga tahun 2000 saja diketahui luas lahan kritis yang mengalami kerusakan parah di seluruh Indonesia mencapai 7.956.611 hektare (ha) untuk kawasan hutan dan 14.591.359 ha lahan di luar kawasan hutan. Sedangkan pada tahun yang sama rehabilitasi atau penanaman kembali yang dilakukan pemerintah hanya mampu menjangkau 12.952 ha kawasan hutan dan 326.973 ha di luar kawasan hutan.
- Global Warming
Pemanasan global telah memicu peningkatan suhu bumi yang mengakibatkan melelehnya es di gunung dan kutub, berkurangnya ketersediaan air, naiknya permukaan air laut dan dampak buruk lainnya. Seiring dengan semakin panasnya permukaan bumi, tanah tempat di mana air berada juga akan cepat mengalami penguapan untuk mempertahankan siklus hidrologi. Air permukaan juga mengalami penguapan semakin cepat sedangkan balok-balok salju yang dibutuhkan untuk pengisian kembali persediaan air tawar justru semakin sedikit dan kecil. Ketika salju mencair tidak menurut musimnya yang benar, maka yang terjadi bukanlah salju mencair dan mengisi air ke danau, salju justru akan mengalami penguapan. Danau-danau itu sendiri akan menghadapi masalahnya sendiri ketika airnya tidak lagi membeku.
Air akan mengalami penguapan yang jauh lebih lambat ketika permukaannya tertutup es, sehingga ada lebih banyak air yang tersisa dan meresap ke dalam tanah. Ketika terjadi pembekuan yang lebih sedikit, artinya semakin banyak air yang dilepaskan ke atmosfir. Maka, ketika gletser yang tersisa dari zaman es mencair semua, sungai-sungai akan kehilangan sumber air.

  • Pencemaran Air
Saat ini pencemaran air sungai, danau dan air bawah tanah meningkat dengan pesat. Sumber pencemaran yang sangat besar berasal dari manusia, dengan jumlah 2 milyar ton sampah per hari, dan diikuti kemudian dengan sektor industri dan perstisida dan penyuburan pada pertanian (Unesco, 2003). Sehingga memunculkan prediksi bahwa separuh dari populasi di dunia akan mengalami pencemaran sumber-sumber perairan dan juga penyakit berkaitan dengannya.
Hilman Masnellyarti, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan Kementerian Negara Lingkungan Hidup mengungkapkan bahwa kelangkaan air bersih disebabkan pula oleh pencemaran limbah di sungai. Diperkirakan, 60 persen sungai di Indonesia, terutama di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, tercemar berbagai limbah, mulai dari bahan organik hingga bakteri coliform dan fecal coli penyebab diare.
Sungai-sungai di Pulau Jawa umumnya berada pada kondisi memprihatinkan akibat pencemaran limbah industri dan limbah domestik. Padahal sebagian besar sungai itu merupakan sumber air bagi masyarakat, untuk keperluan mandi, cuci, serta sumber baku air minum olahan (PAM).
Di Jakarta misalnya, dari hasil penelitian oleh Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Jakarta pada 2006, 13 sungai yang mengalir melewati ibukota sudah tercemar bakteri Escherchia coli (E-coli). Bakteri yang berasal dari sampah organik dan tinja manusia ini juga mencemari hampir 70 persen tanah di kawasan ibukota, sehingga berpotensi mencemari sumber air tanah. Salah satu sungai yang tingkat pencemarannya paling parah adalah Sungai Ciliwung. Kadar bakteri E-coli pada sungai itu mencapai 1,6-3 juta individu per 100cc, jauh di atas baku mutu 2.000 individu per 100cc. Padahal sungai ini menjadi bahan baku air minum di Jakarta. Sedangkan penelitian lain menyebutkan, 76,2 persen dari 52 sungai di Pulau-pulau Jawa, Sumatera, Bali, dan Sulawesi tercemar berat oleh zat organik, termasuk 11 sungai-sungai utama di Indonesia yang tercemar unsur amonium. Sungai-sungai yang mengalir di pulau Jawa, seperti Jakarta, cenderung lebih tercemar oleh bakteri E-coli akibat pencemaran tinja yang menyebabkan penyakit diare pada manusia.
  • Manajemen Pengelolaan Air yang Kurang Baik
- Kurangnya koordinasi antara institusi terkait
Departemen Pekerjaan Umum bertanggung jawab terhadap infrastruktur air, Departemen Dalam Negeri mengurusi pentarifan air, Departemen Kehutanan bertanggung jawab terhadap konservasi sumber daya air, sedangkan masalah kualitas air oleh Departemen Kesehatan. Banyaknya institusi yang terlibat dan tumpang-tindihnya pengambilan kebijakan tentang air oleh berbagai departemen yang ada ditambah lagi dengan kurangnya koordinasi antara institusi tersebut menyebabkan kegagalan program pembangunan Indonesia di sektor air.
-   Anggaran yang tidak mencukupi
Menurut Depkes, selama 30 tahun terakhir, anggaran yang dialokasikan untuk perbaikan sanitasi (termasuk penyediaan air bersih) hanya sekitar 820 juta dolar AS atau setara Rp 200 per orang per tahun. Padahal kebutuhannya mencapai Rp 470 per rupiah per tahun. Versi Bank Pembangunan Asia perlu RP 50 triliun untuk mencapai target MDGs 2015 dengan 72,5% penduduk akan terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.
Dalam APBN tahun 2008, anggaran untuk sanitasi itu hanya 1/214 dari anggaran subsidi BBM. Dari anggaran tersebut terlihat pemerintah belum melihat anggaran untuk perbaikan sanitasi sebagai investasi tetapi mereka melihatnya sebagai biaya. Padahal menurut perhitungan WHO dan sejumlah lembaga lain setiap US$ 1 investasi di sanitasi dan air bersih akan memberikan manfaat ekonomi sebesar US$ 8 dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu, berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian.
- Buruknya Kinerja PAM/PDAM
Air minum perpipaan sebagai sistem pelayanan air minum yang paling ideal hingga saat ini baru dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia. Secara nasional, cakupan air perpipaan baru sekitar 17%, meliputi 32% di perkotaan dan 6,4% di perdesaan. Pada umumnya PDAM secara rata rata nasional mempunyai kinerja yang belum memenuhi harapan. Seperti tingkat pelayanan yang rendah (32%), kehilangan air tinggi (41%), konsumsi air yang rendah (14 m3/bulan/RT).
Sebagian besar PDAM mengalami kendala dalam memberikan pelayanan yang baik akibat berbagai persoalan, baik aspek teknis (air baku, unit pengolah dan jaringan distribusi yang sudah tua, tingkat kebocoran, dan lain lain) maupun aspek non teknis (status kelembagaan PDAM, utang, sulitnya menarik investasi swasta, pengelolaan yang tidak berprinsip kepengusahaan, tarif tidak full cost recovery, dan lain lain).
Biaya produksi tergantung dari sumber air baku yang digunakan oleh PDAM. Namun secara umum biaya produksi untuk sernua jenis air baku ternyata lebih tinggi daripada tarif. PDAM yang menggunakan mata air sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 787/m3, sedangkan tarif rata-rata Rp 61 8/m3. PDAM yang menggunakan mata air, sumur dalam dan sungai sekaligus, biaya produksi rata rata Rp 1.188/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.112/m3. Sedangkan PDAM yang mengandalkan sungai sebagai sumber air baku, biaya produksi rata rata Rp 1.665/m3 , dan tarif rata rata Rp 1.175/m3.
PDAM belum mandiri karena campur tangan pemilik (Pemda) dalam manajemen dan keuangan, cukup membebani PDAM. Sumber daya manusia pengelola PDAM umumnya kurang profesional sehingga menimbulkan inefisiensi dalam manajemen. Dari segi keuangan, tarif air saat ini tidak bisa menutup biaya operasi PDAM, sehingga PDAM mengalami defisit kas, dan tidak mampu lagi menyelesaikan kewajibannya. PDAM masih mempunyai hutang jangka panjang yang cukup besar dan tidak terdapat penyelesaian yang memuaskan.
Di awal tahun 2007 misalnya, banyak warga di kawasan Jakarta mengeluhkan kelangkaan air bersih. Tingginya permintaan secara otomatis mengakibatkan terjadinya lonjakan harga air bersih. Diantara sebab kelangkaan air bersih adalah tidak beroperasinya beberapa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) secara ideal.
Fakta yang ada menunjukkan bahwa dari sekitar 400 PDAM yang tersebar di seluruh Indonesia, hanya sekitar 10 persen yang dapat beroperasi dengan prima. Kondisi PDAM pada tahun 2007 adalah 80 perusahaan sehat, 116 kurang sehat, 139 sakit, dari total 335 PDAM. PDAM saat ini juga terbelit utang kurang lebih sekitar Rp 5,66 triliun. Selain kapasitas produksi nasional air yang belum terpenuhi, PDAM hingga kini masih mengalami masalah kebocoran air hingga 40-50 persen.
b. Akibat Ketiadaan Air Bersih
1)      Penyakit diare. Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian kedua terbesar bagi anak-anak dibawah umur lima tahun. Sebanyak 13 juta anak-anak balita mengalami diare setiap tahun. Air yang terkontaminasi dan pengetahuan yang kurang tentang budaya hidup bersih ditenggarai menjadi akar permasalahan ini. Sementara itu 100 juta rakyat Indonesia tidak memiliki akses air bersih.
2)      Penyakit cacingan.
3)      Pemiskinan. Rumah tangga yang membeli air dari para penjaja membayar dua kali hingga enam kali dari rata-rata yang dibayar bulanan oleh mereka yang mempunyai sambungan saluran pribadi untuk volume air yang hanya sepersepuluhnya.

9.      Menanggulangi Masalah Ketersediaan Air Bersih


Langkah pertama dan yang paling mendasar di sini adalah pemerintah terus menggalakkan upaya penumbuhan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya. Hal itu sebenarnya telah dilakukan oleh pemerintah melalui program PHBS, yaitu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat yang mengupayakan untuk memberdayakan anggota rumah tangga agar sadar, mau dan mampu melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Sasaran penyuluhan program ini adalah kelas IV dan V SD/sederajat. Namun, di sini, saya ingin menggarisbawahi, bahwa hendaknya penyuluhan tentang PHBS sebaiknya lebih dimulai dari dini. Bahkan sejak taman kanak-kanak pun, pemerintah harus memberikan penyuluhan juga. Mulai dari hal-hal kecil seperti mencuci tangan sebelum makan, gosok gigi dua kali sehari, dan lainnya. Sehingga, penanaman perilaku hidup sehat dapat teraplikasikan sejak anak didik berada di pendidikan dasar.
PHBS seharusnya juga tidak hanya diberikan kepada anak-anak. Orang tua pun juga perlu diberi pengetahuan tentang ini. Sebab, orang tua-lah yang membentuk pribadi dan perilaku anak tersebut. Secara tidak langsung, orang tua juga menjadi pengawas bagi anak saat di rumah, apakah anak tersebut mampu melaksanakan perilaku hidup sehat ataukah tidak.
Selain itu, instansi - instansi pemerintah, masyarakat, pendidikan dan lainnya juga harus diberi penyuluhan tentang ini. Dengan begitu, fasilitas di lembaga mereka tentu harus memenuhi standar, bahkan di atas standar. Misal fasilitas tempat cuci tangan yang memadai serta fasilitas MCK yang bersih dan layak
Selain digalakkan melalui penyuluhan, pemerintah juga sebenarnya telah menggalakkan PHBS melalui demonstrasi atau peragaan langsung. Misalnya demonstrasi cuci tangan yang benar, klinik sanitasi, dan lain sebagainya. Namun, upaya pemerintah mengadakan sosialisasi semacam itu terlihat belum menyeluruh ke seluruh wilayah Indonesia, terutama daerah-daerah yang masuk ke dalam daerah dengan kualitas air dan sanitasi yang buruk. Ketidakterjangkauan itulah yang menyebabkan masyarakat tidak tahu bagaimana berperilaku hidup sehat. Oleh karena itu, pelaksanaan PHBS hendaknya dipetakan secara maksimal sehingga dapat menjangkau daerah-daerah yang membutuhkan.
Program lainnya yang telah dilaksanakan pemerintah adalah PPSP yaitu Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman. Melalui program ini pembangunan sanitasi untuk permukiman yang membutuhkan diharapkan dapat dipercepat. Namun, minimnya anggaran yang dimiliki, menyebabkan program ini jauh dari kata maksimal. Sehingga, dibutuhkan anggaran yang lebih besar untuk mewujudkannya.
Langkah kedua yang harus dilaksanakan, setelah kesadaran masyarakat dapat ditumbuhkan, maka pemerintah menaikkan anggaran untuk meningkatkan fasilitas untuk mengakses air bersih serta sanitasi yang layak. Berdasarkan data yang telah saya tulis di atas, rata-rata daerah di Indonesia masih mengalokasikan 1,5% dari APBD-nya untuk pembangunan di bidang sanitasi. Hal itu tentu sangat kecil, dan seharusnya bisa ditambah untuk tahun-tahun ke depannya.
Langkah yang ketiga, apabila di rasa APBD telah mencapai titik maksimum, sehingga tidak dapat dinaikkan lagi, pemerintah juga dapat menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya lembaga PBB, seperti WHO atau World Health Organization. Di tingkat nasional, langkah Danone untuk membantu ketersediaan air bersih di NTT patut diacungi jempol. Dan itu, tentu akan semakin dapat menjangkau daerah lainnya bila kerja sama itu dilakukan dengan lembaga-lembaga Internasional lainnya.
BAB III
PENUTUP
10.  KESIMPULAN
Air merupakan unsur yang vital dalam kehidupan manusia. Ketersediaan air di dunia ini begitu melimpah ruah, namun yang dapat dikonsumsi oleh manusia untuk keperluan air minum sangatlah sedikit. Dari total jumlah air yang ada, hanya lima persen saja yang tersedia sebagai air minum, sedangkan sisanya adalah air laut. Selain itu, kecenderungan yang terjadi sekarang ini adalah berkurangnya ketersediaan air bersih itu dari hari ke hari. Semakin meningkatnya populasi, semakin besar pula kebutuhan akan air minum. Sehingga ketersediaan air bersih pun semakin berkurang. Potensi air permukaan Di Indonesia sendiri lebih kurang 1.789 milyar m3/tahun. Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air bersih (Suara Pembaruan – 23 Maret 2007). Penduduk Indonesia yang bisa mengakses air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, baru mencapai 20 persen dari total penduduk Indonesia. Itupun yang dominan adalah akses untuk perkotaaan Penyebab dari terjadinya krisis air bersih ini antara lain: perilaku manusia yang kurang, Populasi yang terus bertambah dan sebaran penduduk yang tidak merata, kerusakan lingkungan, manajemen pengelolaan air yang buruk, global warming, anggaran yang tidak mencukupi, serta buruknya kinerja PAM PDAM. Kemudian krisis air bersih ini juga memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat diantaranya dampak bagi kesehatan yaitu timbulnya berbagai macam penyakit dan dampak ekonomi yaitu sulitnya air bersih didapatkan terutama bagi rakyat miskin.
  1. SARAN
            Setelah membaca makalah yang kami buat, penyusun mengharapkan supaya kita semua dapat bersama-sama mencegah terjadinya pencemaran yang dapat membuat kebersiha air menjadi tercemar oleh sampah maupun kotoran yang dapat menimbulkan penyebaran bakteri
  1. DAFTAR PUSTAKA
1.      M. Aris Marfai, Krisis Air, Tantangan Manajemen Sumberdaya Air (Mar 20 2012 ).
8.      Andi Iqbal Burhanuddin, Fenomena Pemanasan Global dan Dampaknya (Maret 19 2012).



 





 

1 komentar: