PERINGATAN

Dilarang meng-copy materi dari blog ini, tanpa mencantumkan nama penulis dan alamat web (URL). Terima Kasih

Selasa, 04 Maret 2014

PENYAKIT TYPHUS (THYPHOID ABDOMINALIS)

Dr. Suparyanto, M.Kes



PENYAKIT TYPHUS (THYPHOID ABDOMINALIS)

1.    Pengertian Demam Tifoid   
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Sinonim dari demam tifoid dan paratifoid adalah tifoid   dan paratifoid   fever, enteric fever, tifus dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid menunjukkan manifestasi yang sama dengan tifoid, namun biasanya lebih ringan (Mansjoer, 2006).
Demam tifoid adalah infeksi akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh salmonella typhi (Widoyono, 2012).
Demam tifoid adalah penyakit infeksi perut yang masih banyak ditemukan pada anak dan orang dewasa (Surininah, 2009).

2.    Etiologi Demam Tifoid
Penyebab demam tifoid adalah bakteri salmonella typhi. salmonella adalah bakteri gram-negatif, tidak berkapsul, mempunyai flagela, dan tidak membentuk spora. Kuman ini mempunyai tiga antigen yang penting untuk pemeriksaan laboratorium, yaitu:
a)            Antigen O (somatik),
b)            Antigen H (flagela) dan
c)            Antigen K (Selaput)
Etiologi demam tifoid adalah salmonella typhi. Sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies salmonella enteritidis, yaitu S. enteritidis bioserotipe paratif C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama S. paratyphi A, S. schottmuelleri, dan S. hirschfeldii (Mansjoer, 2007).
Beberapa faktor resiko yang diduga mempengaruhi terjangkitnya penyakit demam tifoid antara lain kesehatan lingkungan yang kurang memadai, kepadatan penduduk, penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat, hegiene perorangan yang kurang baiktingkat social ekonomi masyarakat, tingkat pendidikan masyarakat, (Hidayati, 2010).

3.    Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini tes Widal merupakan reaksi serologis yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa demam tifoid. Dasar tes Widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen Salmonella typhosa dan antibodi yang terdapat pada serum penderita.
            Ada 2 metode yang sampai saat ini dikenal :
a)    Widal cara tabung (konvensional)
b)    Salmonella Slide Test (cara Slide)

Sampai saat ini, tidak ada kepustakaan yang menyebutkan nilai titer Widal yang absolut untuk memastikan diagnosa demam tifoid. Nilai sensifitas, spesifisitas, serta ramal reaksi Widal sanagat bervariasi dari satu laboratorium dengan laboratorium lainnya.
Disebut tidak sensitiv karena adanya sejumlah penderita dengan hasil biakan positif tetapi tidak pernah dideteksi adanya antibodi dengan tes ini. Bila adanya titer antibodi dapat dideteksi, sering kali titer naik sebelum timbul gejala klinis sehingga sulit untuk memperlihatkan terjadinya kenaikan titer yang berarti.
Disebut tidak spesifik karena semua group D Salmonella mempunyai antigen O, demikian juga group A dan B salmonella. Semua group D Salmonella mempunyai fase H antigen yang sama dengan Salmonella typhosa. Titer H tetap meningkat dalam waktu sesudah infeksi.
Untuk dapat memberikan hasil yang akurat, tes Widal sebaiknya tidak hanya dilakukan satu kali saja melainkan perlu satu seri pemeriksaan, kecuali bila hasil tersebut sesuai atau melewati nilai standart setempat.

Beberapa faktor yang mempengaruhi reaksi Widal antara lain :
a.        Faktor penderita

Faktor penderita meliputi :
a)    Saat pemeriksaan perjalanan penyakit
b)    Pengobatan dini dengan antibiotika
c)    Keadaan umum gizi penderita
d)    Penyakit tertentu yang menghambat pembentukan antibody : agama-aglobulinemia, leukemia, tumor.
e)    Pemakaian obat imunosupresif dan kortikosteroid.
f)     Vaksinasi
g)    Infeksi subklinis
h)   Reaksi anamnestik

b.            Faktor teknis
Faktor teknis meliputi :
a)    Reaksi silang
b)    Konsentrasi suspense antigen
c)    Strain salmonella yang dipakai untuk suspensi antigen

Dari beberapa laporan, tiap rumah sakit mempunyai nilai standart Widal tersendiri sehingga tes Widal tersebut diharapkan mempunyai nilai diagnostic untuk membantu menegakkan diagnosis.
Surabaya, titer widal                   ≥1/200
Yogyakarta                                  ≥1/160
Manado                                         ≥1/80
Jakarta (Rockhil dkk,1981)        ≥1/40

Tes Widal tidak dapat dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid bila hanya dilakukan satu kali saja. Kenaikkan titer Widal pada satu seri pemeriksaan Widal atau kenaikkan titer 4 kali pada pemeriksaan berikutnya dapat membantu memastikandiagnosis demam tifoid.
(Rampengan, 2008)


4.    Penularan Demam Tifoid
Penularan penyakit adalah melalui air dan makanan. Kuman salmonela dapat bertahan lama dalam makanan. Penggunaan air minum secara masal yang tercemar bakteri sering menyebabkan terjadinya KLB. Vektor berupa serangga juga berperan dalam penularan penyakit (Widoyono, 2012).

5.    Tanda dan gejala 
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan gejala prodormal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas):
a)    Perasaan tidak enak badan
b)  Lesu
c)     Nyeri kepala
d)    Pusing
e)    Diare
f)    Anoreksia
g)  Batuk
h)    Nyeri otot
(Mansjoer, 2007).

Menurut Widoyono (2012) tanda dan gejala Demm Tifoid yaitu  demam lebih dari tujuh hari adalah gejala yang paling menonjol. Demam ini bisa diikuti oleh gejala tidak khas lainnya seperti diare, anoreksia atau batuk. Pada keadaan perforasi usus, perdarahan usus, dan koma. Diagnosis ditegakkan ada keadaan perforasi usus, perdarahan usus, dan koma. Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya salmonella dalam darah melalui kultur. Karena isolasi salmonella relatif sulit dan lama, maka pemeriksaan serologi widal untuk mendeteksi antigen O dan H sering digunakan sebagai alternatif. Titer ≥ 1/40 dianggap positif demam tifoid.

Menurut Surininah (2009) gejala tifoid adalah sebagai berikut:
a)  Demam lebih dari satu minggu yang biasanya dimulai dengan demam ringan, yang berangsur-angsur meningkat, biasanya demam turun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Bila penyakit berlanjut, demam akan terjadi terus-menerus baik pagi, siang atau malam.
b)  Gangguan pada saluran pencernaan dapat berupa diare atau sembelit.
c)   Anak tampak lemah, lesu, tidak mau bermain dan tidak mau makan.
d)  Napas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah putih kotor, ujung tepi lidah kemerahan.

6.    Pengobatan Demam Tifoid
Dalam pengelolaan pengobatannya:
a)  Pengaturan makanan perlu diutamakan, yaitu makanan cair atau lembek, disertai istirahat di tempat tidur.
b)  Bila si penderita kooperatif dan mau mengikuti nasihat istirahat dan aturan makan, barangkali penderita demam tifoid tidak perlu sampai dirawat di Rumah Sakit. Karena obat-obat pembunuh kuman tifoid sekarang sudah banyak yang bagus.
c)   Kecuali pada keadaan tertentu dimana kondisi tubuh penderita sudah demikian jelek, sehingga perlu pemberian makanan dan obat-obatan melalui infus atau sonde (Faisal, 2004).

7.    Komplikasi Demam Tifoid 
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :

Komplikasi intestinal
a)    Perdarahan usus
b)    Perforasi usus
c)    Ileus paralitik

Komplikasi ekstraintestinal
a)    Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b)    Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c)    Komplikasi paru: pneumonia, empiema dan pleuritis.
d)    Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolitiasis.
e)    Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, piolonefritis, dan perinefritis.
f)     Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artitis.
g)    Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia.
(Mansjoer, 2006)


8.    Penanganan Demam Tifoid
a)  Istirahat tirah baring.
b)  Habiskan antibiotika yang diresepkan sampai tuntas sesuai petunjuk.
c)   Atasi demam dengan obat penurun panas.
d)  Diet makan lunak seperti bubur atau nasi lembek.
e)  Hindari makanan yang merangsang seperti asam, banyak serat, cabe.
(Surininah, 2009).

       Menurut Rampengan (2008) penanganan Demam Tifoid adalah
1)    Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatn demam tifoid di masa lalu. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita.
2)    Diet
Penderita diberi diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita.
3)    Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian yang tinggi sebelum adanya obat-obatan antimikroba (10-15%). Obat-obatan antimikroba yang sering digunakan antara lain:
a)    Kloramfenikol
b)    Tiamfenikol
c)    Kotrimoksasol
d)    Ampisilin
e)    Amoksilin
f)     Amoksisilin
g)    Seftriakson
h)   Sefotaksim
i)     Siprofloksasin (usia >10 tahun)

9.    Pencegahan Demam Tifoid
Kebersihan makanan dan minuman sangat penting untuk mencegah demam tifoid. Merebus air minum sampai mendidih dan memasak makanan sampai matang juga sangat membantu. Selain itu juga perlu dilakukan sanitasi lingkungan termasuk membuang sampah di tempatnya dengan baik dan pelaksanaan program imunisasi (Widoyono, 2012).
Pencegahan demam Tifoid diupayakan melalui berbagai cara : umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene karena perbaikan higiene dan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella Typhi. Pemutusan rantai tranmisi juga penting dan pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan (Darmowandoyo, 2002).

Menurut Surininah (2009) pencegahan tifoid yang dapat dilakukan :
a)  Makanlah makanan yang terjaga kebersihannya, jajanan yang tidak terjamin kebersihannya sering merupakan sumber penularan.
b)  Minum air yang dimasak dengan benar.
c)   Atasi demam dengan obat penurun panas.
d)  Diet makan lunak seperti bubur atau nasi lembek.
e)  Hindari makanan yang merangsang seperti asam, banyak serat, cabe.

Menurut Rampengan (2008) pencegahan tifoid adalah sebagai berikut :
Usaha terhadap lingkungan hidup:
a)    Penyediaan air minum yang memenuhi syarat.
b)    Pembuangan kotoran manusia yang higienis.
c)    Pemberantasan lalat.
d)    Pengawasan terhadap penjual makanan.

Usaha terhadap manusia:
a)    Imunisasi
b)    Menemukan dan mengobati karier.
c)    Pendidikan kesehatan masyarakat.

Menurut Yanuar (2008) pencegahan tifoid adalah sebagai berikut :
a)  Biasakan makan makanan yang sudah dimasak.
b)  Biasakan minuman yang sudah dimasak.
c)   Lindungi makanan dari lalat, kecoa dan tikus.
d)  Cuci tangan dengan sabun setelah ke WC dan sebelum makan.
e)  Hindari jajan di tempat-tempat yang kurang bersih.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Adi, R. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Edisi 1. Jakarta: Granit
2.    Alimul, Hidayat. 2009. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Rineka Cipta.
3.    . 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta. Salemba Medika.
4.    Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
5.    Azwar, Saifudin. 2011. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta Pustaka Pelajar.
6.    Widodo, Darmowandoyo, 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi Pertama. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI:367-375
7.    Depkes RI. 2010. Angka Kejadian tifus di Indonesia. http://www.library.upnvj.ac.id/pdf. Diakses 23/01/2013.
8.    Dinkes Jombang. 2012. Jumlah kejadian tifoid di Jombang. Dinkes Jombang.
9.    Dorotyh E. Johnson, 2006. Nursing Theorists and Their Work. St. Louis, Missouri. USA. Westline Industrial Drive.
10. Effendy. 2004. Dasar-dasar Kepewatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta. EGC.
11. Faisal. 2004. Macam-macam penyakit menular dan pencegahannya. Jakarta:Pustaka Populer Obor.
12. Hadisaputro. Masalah Demam tifoid. http://digilib.unimus.ac.id. Diakses 23/01/2013.
13. Hidayati. 2010. Faktor penyebab penyakit tifoid. http://ejournal.uin-malang.ac.id. Diakses 12/02/2013.
14. Kusrini, Koniyo Andri. Tuntutan Praktis Membangun Sistem Informasi Akutansi dengan Visual basic dan Mocrosoft SQL Server. Yogyakarta. C.V ANDI OFFSET
15. Mansjoer. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI.
16. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta. EGC.
17. Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta.
18. . 2007. Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta
19. . 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka            Cipta.
20. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian. Jakarta : Salemba Medika.
21. Rampengan. 2008. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta. EGC.
22. Riana Afriadi. 2008. Penyakit Perut. Bandung. Puri Delco.
23. Sunaryo. 2004. Psikologi Keperawatan. Jakarta. EGC.
24. Suprajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta. EGC.
25. Surininah. 2009. Buku Pintar Mengasuh Batita. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
26. Timmreck, TC. 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar Edisi 2. Jakarta: EGC
27. Walgito. 2007. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Bandung. Penerbit Andi.
28. Wawan dan Dewi. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta. Nuha Medika.
29. Widoyono. 2012. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta. Erlangga.
30. Yanuar. 2008. Penyakit Perut. Puri Delco. Bandung.



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar