PERINGATAN

Dilarang meng-copy materi dari blog ini, tanpa mencantumkan nama penulis dan alamat web (URL). Terima Kasih

Rabu, 22 Juni 2016

ECHERICHIA COLI

Dr. Suparyanto, M.Kes



2.2    Bakteri Echerichia coli
2.2.1.    Klasifikasi
Klasifikasi bakteri menurut  (Karsinah, dkk. 1994) sebagai berikut :
Kingdom          : Bacteria
Phylum            : Proteobacteria
Class               : Gamma Proteobackteria
Order               : Enterobakteriales
Family             : Enterobacteri aceae
Genus             : Escherichia
Spesies           : Escherichia coli
2.2.2.    Morfologi dan Identifikasi
Genus Escherichia coli berbentuk batang pendek (kokobasil), negatif Gram, ukuran 0,4-0,7 µm x 1,4 µm, sebagian besar gerak positif dan beberapa strain mempunyai kapsul. Escherichia coli tumbuh baik pada hampir semua media yang biasa dipakai di laboratorium Mikrobiologi.
       Escherichia coli mempunyai antigen O, H, dan K. Pada saat ini telah ditemukan: 150 tipe antigen O, 90 tipe antigen K dan 50 tipe antigen H. Antigen K dibedakan lagi berdasarkan sifat-sifat fisiknya menjadi 3 tipe;  L, A dan B

2.2.3.    Patogenitas
Escherichia coli dihubungkan dengan tipe penyakit usus (diare) pada manusia: Enteropathogenic Escherichia coli menyebabkan diare, terutama pada bayi dan anak-anak di negara-negara sedang berkembang dengan mekanisme yang belum jelas diketahui. Frekuensi penyakit diare yang disebabkan oleh strain kuman ini mengeluarkan toksin LT atau ST. Faktor-faktor permukaan untuk perlekatan sel kuman ada mukosa usus penting di dalam patogenesis diare, karena sel kuman harus melekat dulu pada sel epitel mukosa usus sebelum kuman mengeluarkan toksin.
Enteroinvasive Escherichia coli menyebabkan penyakit diare seperti disentri yang disebabkan oleh Shigella. Kuman menginvasi sel mukosa, menimbulkan kerusakan sel dan terlepasnya lapisan mukosa. Strain Escherichia coli  ini menghasilkan substansi yang bersifat sitotoksik terhadap sel Vero dan Hela, identik dengan toksin dari Shigella dysenteriae. Toksin merusak sel endotel pembuluh darah, terjadi pendarahan yang kemudian masuk ke dalam kuman usus.
2.2.4.    Diagnosa Laboratorium
       Untuk isolasi dan identifikasi kuman Escherichia coli dari bahan pemeriksaan klinik dipakai metode dan media sesuai dengan metode untuk kuman enterik lain.
       Diagnosis laboratorium penyakit diare yang disebabkan Escherichia coli masih sulit dilakukan secara rutin, karena pemeriksaan secara tradisional dan serologi seringkali tidak mampu mendeteksi kuman penyebabnya. Deteksi sebagian besar strain  Escherichia coli patogen memerlukan metose khusus untuk mengidentifikasi toksin yang dihasilkan. Sampai saat ini metode yang ada masih memerlukan tes dengan binatang percobaan dan kultur jaringan yang cukup mahal dan kurang praktis. Beberapa metode baru berdasarkan tes imunologi dan teknik hibridasi DNA sudah dikembangkan, tetapi belum beredar di pasaran luas, misalnya: tes Elisa (enzyme-linked immunosorbent assay) particle agglutination methods Co-agglutination dengan protein A staphyloccus aureus yang telah berikatan dengan antibodi terhadap enterotoksin Escherichia coli, hibridasi DNA-DNA pada  koloni kuman atau langsung pada spesimen tinja.

2.3   Fermentasi
Fermentasi berasal dari bahasa Latin dari kata fervere yang berarti mendidih. Hal ini ternyata merujuk pada ktivitas khamir pada ekstrak buah-buahan atau serealia. Selama fermentasi dihasilkan  sehingga kondisinya menjadi anaerob. Pada umumnya, produk yang dihasilkan proses fermentasi berasal dari substrat yang mengangung karbon. Bermacam-macam produk antara yang dihasilkan dari glukosa adalah asam piruvat yang berperan sebagai senyawa kunci. Kemudian, asam piruvat akan direduksi menjadi asam laktat, etil alkohol (etanol), dan sebagainya (Setiwati dan Furqonita, 2007 hal 35).
Prinsip pengawetan dengan fermentasi, fermentasi merupakan proses perubahan karbohidrat menjadi alcohol. Zat-zat yang bekerja pada proses ini ialah enzim yang dibuat oleh sel-sel ragi. Lamanya proses peragian tergantung dari bahan yang akan diragikan. Fermentasi terbagi dua tipe, tipe berdasarkan tipe kebutuhan akan oksigen yaitu tipe aerobic atau butuh oksigen dan anaerobic atau tanpa oksigen. Tipe aerobik adalah fermentasi yang pada prosesnya memerlukan oksigen. Hasil proses fermentasi antara lain etanol, asam laktat, hidrogen, asam butirat, dan aseton. Penggunaan ragi dalam mproses fermentasi antara lain pada proses menghasilkan etanol dalamm bir, pikel, sawi asin, tapr, dan minuman anggur (Saptoningsih dan Jatnika, 2012 hal 22).
      Proses fermentasi dapat dilakukan secara alami, dimana mikroba yang secara alami yang terdapat pada bahan dibiarkan berkembang dengan pengaturan faktor lingkungan yang sesuai untuk mikroba yang diinginkan. Fermentasi dengan menggunakan kultur murni menghasilkan produk yang lebih seragam. Fermentasi pangan kan berhasil bila dilakukan pengaturan terhadap pertumbuhan mikroba, antara lain suhu, kelembaban, pH, jenis dan komposisi bahan baku yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba yang diinginkan. Setiap mikroba memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga untuk menghasilkan suatu produk yang diinginkan,pengetahuan terhadap karakteristik mikroba serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhannya sangat diperlukan untuk menghasilkan suatu produk fermentasi yang diinginkan dan aman untuk di konsumsi.
        Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, Respirasi anaerob dikenal juga dengan istilah fermentasi. Fermentasi merupakan cara pengawetan dengan menggandakan jumlah mikroba dan mengaktifkan metabolismenya dalam makanan. Reaksi dalam proses fermentasi berbeda-beda, tergantung pada jenis gula yang digunakan dan jenis olahan yanng akan dihasilkan. Fermentasi adalah perubahan glukosa secara anaerob yang meliputi glikolisis dan pembentukan NAD. Fermentasi menghasilkan energi yang relatif kecil dari glukosa. Glikolisis berlangsung dengan baik pada kondisi tanpa oksigen. Fermentasi dibedakan menjadi dua tipe reaksi, yakni fermentasi alkohol dan fermentasi asam laktat.
       Fermentasi alkohol maupun fermentasi asam laktat diawali dengan proses glikolisis. Pada glikolisis, diperoleh 2 NADH +  + 2 ATP + asam piruvat. Pada reaksi aerob, hodrogen dari NADH akan bereaksi dengan  pada transfer elektron. Pada reaksi anaerob, ada akseptor hidrogen permanen berupa asetildehida atau asam piruvat.
1)    Fermentasi Alkohol
Pada fermentasi alkohol, asam piruvat diubah menjadi etanol atau etil alkohol melalui dua langkah reaksi. Langkah pertama adalah pembebasan  dari asal piruvat yang kemudian diubah menjadi asetildehida. Langkah kedua adalah reaksi reduksi asetildehida oleh NADH menjadi etanol. NAD yang terbentuk akan digunakan untuk glikolisis (Gambar 2.2).
O
Asam Piruvat
dekarboksilase
Alkohol
dehidrogenase
C▬ O                                  O
                                                                                           ▬ OH
C═ O                          C ▬ H     NADH               
                                                                                           
CH                                  
Asam piruvat             asetaldehid                           Etanol
Gambar 2.3 Bagan Fermentasi alkohol (Abdurahman, 2008 hal 66)      
       Sel ragi dan bakteri melakukan respirasi secara anaerob. Hasil fermentasi berupa  dalam industri roti dimanfaatkan untuk mengembangkan adonan roti sehingga pada roti terdapat pori-pori.
2)    Fermentasi Asam Laktat
Fermentsi asam laktat adalah fermentasi glukosa yang menghasilkan asam laktat. Fermentasi asam laktat dimulai dengan glikolisis yang menghasilkan asam piruvat, kemudian berlanjut dengan perubahan asam piruvat menjadi asam laktat (Gambar 2.3). Pada fermentasi asam laktat, asam piruvat bereaksi secara langsung dengan NADH membentuk asam laktat. Fermentasi asam laktat dapat berlangsung ketika pembentukan keju dan yoghurt.
Gambar 2.4 Fermentasi asam laktat
Sebagai hasil dari fermentsi, setiap molekul glukosa akan menghasilkan 2 molekul ATP. Sementara itu, dari respirsi aerobik akan dihasilkan 36 molekul ATP.
Tabel 2.1 Produk Respirasi Seluler dan Fermentsi
Fermentasi
Respirasi Seluler
Asam laktat Alkohol
Glukosa        Asam piruvat        Asam Laktat + 2 ATP
Glukosa       Asam piruvat      Karbon dioksida + Etanol + 2 ATP
Respirasi seluler
Oksigen
Glukosa       Asam piruvat       Karbon dioksida + Air + 36 ATP                                                              
          Sumber : Oman karmana, hal 41
      Ferrmentasi mulai menjadi ilmu pada tahun 1875 ketika Louis Pateur menemukan bahwa fermentasi merupakan sebuah hasil dari sebuha aksi mikroorganisme yang spesifik. Fermentasi sebagai industri dimulaia awal 1900, dengan produksi dari ensim mikroba, asam organik, dan yeast. Saat ini fermentais memiliki arti yang berbeda bagi seorang ahli biokimia dan bagi seorang “industrial mocrobiologist:.
1). Dari sisi arti biokimia : fermentasi berhubungan dengan pembangkitan energi dengan proses katabolisme senyawa-senyawa organik, yang berfungsi sebagai donor elektron dan terminal electron acceptor.
2). Dari sisi “indutrial microbiologist” : fermentasi berhubungan dengan proses produksi produk dengan menggunakan mikroorganisme sebagai biokatalis.
Proses fermentasi dapat dibedakan fermentasi “submerged culture” dan fermentasi “solid state”. Kondisi fermentasinya dapat berupa kondisi aerob, mikroaerophilik, maupun anaerob. Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Fermentasi “submerged culture” adalah proses fermentasi yang mikroorganisme dan substrat berada menjadi satu dalam “submerged state” dalam media cair dalam jumlah yang besar. Mikroorganisme ditumbuhkan pada media cair dan sel yang tumbuh berada dalam kondisi tercelup dalam media cairan. Tujuannya adalah untuk pembentukan produk yang dihasilkan oleh pertumbuhan mikroorganisme. Pertumbuhan yang terjadi umumnya cepat, dan menjadi tampak setelah 24 jam. Fermentasi “solid state” secara ringkas dapat didefinisikan sebagai proses fermentasi yang pertumbuhan mikroorganisme dan pembentukan produk terjadi pada permukaan subtrat padatan. Fermentasi “solid state” adalah metode menumbuhkan mikroorganisme di kondisi yang kandungan airnya terbatas tanpa memiliki aliran air yang mengalir bebas. Mikroorganismenya tumbuh pada permukaan padatan yang lembab, tetapi juga dapat berhubungan dengan udara secara langsung. Fermentasi “solid state” banyak diaplikasikan di negara-negara Cina, jepang dan Korea, yang dikenal dengan fermentasi “Koji”, untuk terobosan baru untuk fermentasi “solid state” yang mengurangi biaya manufaktur karena menggunakan limbha pertanian padat dan juga mengurangi biaya aerasi (Riadi, 2013).
Ruang lingkup proses fermentasi :
1.    Fermentasi yang menghasilkan sel (biomas) sebagai produk
Contoh : Yeast, Single cell protein
2.    Fermentasi yang memproduksi enzim
Contoh : enzyme glucomilase
3.    Fermentasi yang menghasilkan hasil metabolisme mikroba
Primasry metabolite products dan secondary metabolite products
4.    Fermentasi yang memodifikasi senyawa (proses transformasi)

2.4    Bahan Antibakteri
       Mikroorganisme dapat dibunuh atau dihambat pertumbuhannya secara fisika atau kimia. Bahan kimia yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroba disebut bahan antimikroba. Mikroba yang dimaksudkan bisa berupa bakteri, fungi, virus, dan protozoa. Dalam penggunaan umum, istilah antimikroba menyatakan penghambatan pertumbuhan, dan bila dimaksudkan untuk kelompok-kelompok organisme yang khusus, maka seringkali digunakan istilah-istilah seperti antibakteri atau antifungi (Pelczar & Chan, 1988 dikutip dari Monalisa, 2010).
      Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri fan organisme lain (Staf pengajar FK, 2008)
Cara kerja antibiotik sama halnya dengan pembunuuh hama pestisida dalam menekan atau memutus satu mata rantai metabolisme. Perbedaannya ada pada sasarannya, yaitu bakteri. Antibiotik berbeda dengan disinfektan dalam hal cara kerja. Cara disinfektan membunuh bakteri adalah menciptakan lingkungan tidak wajar bagi kehidupan bakteri, sedangkan cara kerja antibiotik adalah menghentikan proses metabolisme suatu bakteri (Utami, 2012).
       Suatu antimikroba (AM) memperlihatkan toksisitas selektif, obat ini lebih toksik terhadap organisme daripada terhadap sel-sel hospes. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh obat yang selektif terhadap mikroba, atau karena kerja obat pada reaksi biokimia penting dalam sel pararsit lebih unggul di bandingkan dengan pengaruhnya pada sel hospes (Staf pengajar FK, 2003)
.Berdasarkan sifat atau daya hancurnya, antibiotik dibagi menjadi dua sebagai berikut.
a.    Antibiotik bersifat bakterisidal, yaitu antibiotik yang bersifat destruktif atau merusak suatu bakteri.
b.    Antibiotik bersifat bakteriostatik, yaitu antibiotik yang bekerja menghambat pertumbuhan atau perkembangbiakan suatu bakteri.
Mekanisme kerja yang dilakukan suatu antibiotik dalam menekan pertumbuhan bakteri melalui bermacam-macam cara, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu menghambat perkembangan bakteri. Berdasarkan mekanisme kerja dalam menghambat proses biokimia di dalam organisme, antibiotik dibedakan menjadi lima, sebagai berikut.
a.    Antimetabolit.
 Antimikroba bekerja memblok tahap metabolik spesifik mikroba. Termasuk dalam hal ini ialah (1) Sulfonamida, dan (2) Trimetoprim. Sulfonamida menghambat pertumbuhan sel dengan menghambat sintesis asam folat oleh bakteri. Sulfonamida bebas secara struktur mirip dengan asa folat, para-amino asam benzoat (PABA), dan bekerja sebagai penghambat kompetitif unutk enzim-enzim yang langusng mempersatukan PABA dan sebagai pteridin menjadi asam dihidropteroat. Trimetoprim secara struktur analog pteridin yang dibagi oleh enzim dihidrofolat reduktase dan bekerja sebagai penghambat kompetitif enzim tersebut yang dapat mengurangi dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat.
b.    Penghambat sintesis dinding sel
Antimikroba menghambat sintesis dinding sel bakteri atai mengaktivasi enzim yang dapat merusak dinding sel bakteri.
c.    Penghambatan fungsi membran sel
Antimikroba bekerja secara langusng pada membran sel yang memengaruhi permeabilitas dan menyebabkan keluarknya senyawa intraselular bakterii. Dalam hal ini antimikroba dapat (1) berinteeraksi dengan sterol membran sel pada jamur; (2) merusak membran sel bakteri gram negatid
d.    Penghambatan sintesis protein
Antimkroba memengaruhi fungsi ribosom bakteri yang menyebabkan sintesis protein dihambat (Staf pengajar FK, 2003).
e.    Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat
Mekanisme obat antibakteri yang berfungsi menghambat sintesis asam nukleat yaitu dengan cara menghambat DNA polymerase, DNA helicase atau RNA polymerase, sehingga menghalangi proses replikasi ataupun transkripsi dan dengan jelas menghambat pertumbuhan dan pembelahan sel (Willey et al., 2008; Volk & Wheeler, 1988 dikutip dari Monalisa, 2010). Obat ini tidak menunjukkan toksisitas selektif seperti antibiotik lainnya karena tidak membedakan respon sintesis asam nukleat antara prokariot dan eukariot.
Bahan antibakteri dapat menghambat atau mematikan mikroorganisme dengan cara kerja yang berbeda-beda. Berbagai proses serta substansi yang terdapat dalam bahan antibakteri bekerja menurut salah satu dari cara di atas. Contohnya adalah senyawa fenol yang dapat mendenaturasikan protein dan merusak membran sel. Senyawa ini banyak terdapat dalam tumbuhan dan salah satunya adalah buah mengkudu yang mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri seperti Preutus morganii, Sthapylococes auereus, Bacillus subtilis dan Escherichi coli (Monalisa, 2010).

2.5          Uji Antibakteri
Penentuann efektifitas antibakteri terhadap patogen yang spesifik penting untuk mengetahui memtode terapi yang tepat. Pengujian dapat menunjukkan agenmana yang paling efektif melawan patogen dan dapat memberikan perkiraan dosis terapeutik yang tepat (Willey et al.,2008 Dikutip dari Monalisa, 2010). Ada dua metode umum yang dapat digunakan, yaitu metode difusi dan metode dilusi.
2.5.1.   Metode Difusi
Metode difusi atau metode difusi agar (Kirby-Bauer method) adalah metode yang paling sering digunakan. Hal ini dimungkinkan karena dengan metode ini lebih dapat menghemat waktu dan media. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik, kimia serta faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat media dan kemampuan difusi, ukuran molekuler serta stabilitas obat).
       Prinsip kerja dari metode ini sangat sederhana, yaitu ketika kertas cakram yang berisi sejumlah obat tertentu ditempatkan pada permukaan media padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya, obat tersebut akan berdifusi secara radial melalui agar, setelah diinkubasi dan bakteri tersebut tumbuh, maka akan terbentuk zona jernih sekitar cakram. Adanya zona jernih yang melingkar di sekitar cakram menunjukkan agen obat menghambat pertumbuhan bakteri. Makin besar zona jernih (zona hambat) di sekitar cakram, maka semakin peka bakteri tersebut. Zona hambat tersebut diukur dalam satuan milimeter dan dibandingkan dengan antibiotik standar untuk menentukan isolat bakteri yang digunakan sensitif atau resisten terhadap obat tersebut (Monalisa, 2010). Keuntungan dari metode  ini yaitu hasil kualitatif, mudah dilakukan, peralatan cukup sederhana, pemilihan antibiotik lebih fleksibel.
2.5.2.   Metode Dilusi
       Metode dilusi dapat digunakan untuk menentukan KHM (Konsentrasi Hambat Minimum) dan KBM (Konsentrasi Bunuh Minimum). Pada metode ini menggunakan antibakteri dengan kadar yang menurun secara bertahap, baik dengan media cair maupun padat. Kemudian media diinokulasi bakteri uji dan diinkubasikan. Tahap akhir dilarutkan antibakteri dengan kadar yang menghambat dan memamatikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaanya dibatasi pada keadaan tertentu saja. Uji kepekaan cara dilusi cair dengan menggunakan tabung reaksi. Metode uji ini tidak praktis sehingga jarang digunakan. Namun, sekarang ada cara yang lebih sederhana dan banyak digunakan, yaitu microdilution plate. Keuntungan uji mikrodilusi cair adalah bahwa uji ini memberi hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah antibakteri yang dibutuhkan untuk mematikan bakteri (Monalisa, 2010). Kelemahan daripada metode difusi adalah tidak dapat menentukan apakah obat (agen chemoterapi) sebagai bactericidal dan bukan hanya bakteriostatik.
 

PROTEIN URINE

Dr. Suparyanto, M.Kes



2.1 Protein urin
2.1.1 Pengertian Protein Urin
       Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya protein dalam urin manusia yang melebihi nilai normal yaitu lebih dari 150 mg/hari. Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila kadarnya melebihi 200 mg/hari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnya biasanya hanya sedikit di atas nilai normal (Bawazier, 2006).
2.1.2 Mekanisme Protein Urin
5

        Dinding pembuluh darah dan struktur jaringan yang ada disekitarnya berperan penting sebagai barier terhadap melintasnya makromolekuler seperti globulin dan albumin. Hal ini terjadi karena peran dari sel endotel pada kapiler, membran basal dari glomerulus dan epitel viseral. Makromolekular yang melintasi dinding kapiler berbanding terbalik dengan ukurannya. Hal ini akibat heparan sulfat proteoglikans yang terdapat pada dinding kapiler glomerulus menyebabkan pengaruh hambatan negatif pada makromolekuler seperti albumin. Adanya proses peradangan pada glomerulus berakibat perubahan ukuran barier dan hilangnya hambatan anionik sehingga terjadilah proteinuria. Mikroglobulin, α mikroglobulin, vasopresin, insulin dan hormon paratiroid secara bebas melalui filter glomerulus dan selanjutnya diabsorbsi serta dikatabolisme pada tubulus kontortus proksimalis. Kerusakan pada epitel tubulus proksimalis menyebabkan kegagalan untuk mereabsorbsi protein dengan berat molekul rendah yang selanjutnya keluar melalui urin (Jeanida, 2010)
2.1.3 Macam-macam Pemeriksaan Protein Urin
Macam-macam pemeriksaan protein urin yaitu:
1.    Pemeriksaan protein urin dengan metode sulfosalicil 20 %
       Pemeriksaan terhadap protein merupakan pemeriksaan rutin. Kebanyakan cara rutin untuk menyatakan adanya protein dalam urin berdasarkan pada timbulnya kekeruhan. Karena padatnya atau kasarnya kekeruhan itu menjadi satu ukuran untuk jumlah protein yang ada, oleh karena itu dianjurkan menggunakan urin yang jernih dalam pemeriksaan terhadap protein (Gandasaoebrata,2007)
      Adapun prinsip dari pemeriksaan asam sulfosalicil adalah adanya protein dalam urin dapat dinyatakan dengan penambahan asam sulfosalicil untuk mendekatkan ke titik isoelektris protein, dimana kekeruhan yang timbul dinilai secara semikuantitatif. Tes dengan asam sulfosalicil sangat peka yaitu adanya protein dalam konsentrasi 0,002 % dapat dinyatakan oleh tes ini. Kalau hasil tes ini negatif tidak perlu memikirkan kemungkinan adanya proteinuria (Gandasoebrata, 2007).
Prosedur pemeriksaan protein urin dengan asam sulfosalicil 20 % :
1.    Alat:
a.    Tabung reaksi.
b.    Spiritus.
c.    Penjepit tabung.
2.    Bahan:
a.    Asam sulfosalicil 20%.
b.    Urin.
3.    Cara kerja:
a.    Siapkan 2 tabung reksi.
b.    Isi tabung 1 dengan urin sebanyak 2 ml.
c.    Isi tabung 2 dengan urin sebanyak 2 ml dan tambahkan 8 tetes asam sulfosalicil.
d.    Kocok dan panaskan di atas nyala api sampai mendidih.
e.    Dinginkan 1-3 menit.
f.     Amati dengan membandingkan pada tabung 1.
g.    Jika tabung 1 dan 2 sama dinyatakan protein dalam urin negatif.
h.    Jika tabung 2 timbul kekeruhan dinyatakan protein dalam urin positif.
4.    Cara penilaiannya:
a.    Negatif (-): tidak ada kekeruhan sedikitpun juga
b.    Positif +1/1+: ada kekeruhan ringan tanpa butir-butir dalam kekeruhan itu
c.    Positif++/2+: kekeruhan mudah dapat dilihat dan tampak butir-butir dalam kekeruhan
d.    Positif +++/3+: urin jelas keruh dan kekeruhan itu berkeping-keping
e.    Positif ++++/4+:urin sangat keruh an kekeruhan berkeping-keping besar, menggumpal dan memadat. (Gandasoebrata, 2007).
2.    Pemeriksaan protein urin metode asam asetat 6 %
       Pada pemeriksaan protein urin dengan asam asetat ini protein yang ada dalam koloid dipresipitasikan. Pemberian asam asetat dilakukan untuk mencapai atau mendekati titik isoelektris protein, pemanasan selanjutnya untuk mengadakan denaturasi sehingga terjadilah presipitasi. Proses presipitasi dibantu oleh adanya garam-garam yang telah ada dalam urin atau yang sengaja ditambahkan ke dalam urin (Gandasoebrata, 2007)
       Percobaan dengan asam asetat  ini cukup peka untuk klinik, yaitu sebanyak 0,004 % protein dapat dinyatakan dengan tes ini. Asam asetat yang dipakai tidak penting konsentrasinya tiap konsentrasi antara 3-6% boleh dipakai, yang penting ialah pH yang dicapai dengan pemberian asam asetat, oleh karena itu ada yang lebih suka memakai larutan penyangga pH 4,5 sebagai pengganti larutan asam asetat, sehingga dengan reagen ini adanya garam-garam untuk mempresipitasikan protein dengan sendirinya terjamin (Gandasoebrata, 2007)
Prosedur pemeriksaan protein urin dengan asam asetat 6%:
1.    Alat:
a.    Tabung reaksi
b.    Api spiritus
c.    Penjepit tabung
d.    Korek api
2.    Bahan:
a.    Asam asetat 6%.
b.    Urin
3.    Cara kerja:
a.    Masukkan urin ke dalam tabung reaksi sebanyak 3 ml
b.    Panaskan di atas nyala api dengan menggunakan penjepit tabung sampai mendidih.
c.    Tetesi dengan asam asetat 1-3 tetes.
d.    Diamkan 1-3 menit.
e.    Jika kekeruhan hilang dinyatakan protein dalam urin negatif
f.     Jika kekeruhan tetap ada dinyatakan protein dalam urin positif
4.    cara penilaiannya:
a.    Negatif (-): tidak ada kekeruhan sedikitpun juga
b.    Positif +/1+:ada kekeruhan ringan tanpa butir-butir dalam kekeruhan itu
c.    Positif++/2+:kekeruhan mudah dapat dilihat dan tampak butir-butir dalam kekeruhan
d.    Positif +++/3+:urin jelas keruh dan kekeruhan itu berkeping-keping
e.    Positif ++++/4+:urin sangat keruh dan kekeruhan berkeping-keping besar, menggumpal dan memadat. (Gandasoebrata, 2007).
3.    Pemeriksaan protein dengan Carik celup
      Banyak pemeriksaan penyaring sekarang dilakukan dengan menggunakan carik celup. Pemeriksaan yang memakai carik celup biasanya sangat cepat dan mudah. Carik celup berupa secarik kertas plastik yang pada sebelah sisinya dilekati dengan satu sampai sembilan kertas isap atau bahan peyerap lain yang masing-masing mengandung reagen-reagen spesifik terhadap salah satu zat yang mungkin ada dalam urin. Adanya dan banyaknya zat yang dicari ditandai oleh perubahan warna tertentu pada bagian yang mengandung reagen spesifik. Pemeriksaan protein urin dengan carik celup ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor suhu dan cahaya matahari maka carik celup harus disimpan dengan baik (Gandasoebrata, 2007)
Prosedur pemeriksaan dengan cari celup:
1.    Siapkan urin yang akan diperiksa
2.    Kocok urin tersebut supaya urin dengan sedimen bisa tercampur
3.    Celupkan carik ke dalam urin.
4.    Hilangkan kelebihan urin yang melekat pada carik
5.    Amati perubahan warna yang terjadi
6.    Bandingkan dengan standart warna yang ada pada kit reagen (Gandasoebrata, 2007)